Senin, 24 Juni 2013

MENGENAKAN PAKAIAN PENDEK, TIPIS DAN KETAT

Di antara perang yang dilancarkan musuh-musuh Islam pada zaman ini adalah soal mode pakaian. Musuh-musuh Islam itu menciptakan bermacam-macam mode pakaian lalu dipasarkan di tengah-tengah kaum muslimin. Ironinya, pakaian-pakaian tersebut tidak menutup aurat karena amat pendek, tipis dan ketat. Bahkan sebagian besar tidak dibenarkan dipakai oleh wanita, meski di antara sesama mereka atau di depan mahramnya sendiri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan bakal munculnya pakaian seperti ini di akhir zaman, beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : “Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang yaitu ; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi talanjang, berjalan dengan menggoyang-goyang pundaknya dan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR Muslim : 3/1680). Termasuk dalam kategori ini adalah pakaian sebagian wanita yang memiliki sobekan panjang dari bawah, atau yang ada lubang di beberapa bagiannya, sehingga ketika duduk tampak auaratnya. Di samping itu, yang mereka lakukan juga termasuk yang menyerupai orang-orang kafir, mengikuti mode serta busana bejat yang mereka buat. Kepada Allah kita memohan keselamatan. Di antara yang juga berbahaya adalah adanya berbagai gambar buruk di pakaian; seperti gambar penyanyi, kelompok-kelompok musik, botol dan cawan arak, juga gambar-gambar makhluk yang bernyawa, salib, atau lambang-lambang club-club dan organisasi-organisasi non Islam, juga slogan-slogan kotor yang tidak lagi memperhitungkan kehormatan dan kebersihan diri, yang biasanya banyak ditulis dalam bahasa asing.

LAKI-LAKI MENYERUPAI WANITA ATAU SEBALIKNYA

Di antara fitrah yang disyariatkan Allah kepada hambanya yaitu agar laki-laki menjaga sifat kelakiannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata'ala. Dan wanita agar menjaga sifat kewanitaannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata'ala. Hal ini merupakan salah satu sifat penting yang dimana dengannya kehidupan manusia berjalan normal. Laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki adalah yang menyalahi fitrah, membuka pintu kerusakan serta menyebarkan kepincangan dalam tatanan hidup masyarakat. Hukum semua perbuatan itu adalah haram. Jika suatu nash syari’ menyebutkan laknat terhadap suatu kaum karena melakukan perbuatan tertentu, maka itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, maka ia termasuk dosa besar. Dalam hadits marfu’ riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu di sebutkan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR Al Bukhari Fathul Bari : 10/332). Dalam hadits lain juga Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu meriwayatkan : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari, fathul Bari, 10/333) penyerupaan yang dimaksud bersifat umum. Misalnya didalam melakukan gerakan tubuh dalam berbicara dalam berjalan dan di dalam seluruh gerak diam. Termasuk di dalamnya cara berpakaian dan berdandan. Laki-laki tidak dibolehkan memakai kalung, gelang, anting, gelang kaki, dan sebagainya. Ironisnya, ini yang banyak kita saksikan, sebab semua itu merupakan perhiasan wanita. Demikian juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memakai pakaian yang khusus digunakan laki-laki. Misalnya kemeja, baju atau pakaian khusus untuk pria lainnya. Masing-masing hendaknya menjaga perbedaan jenisnya, dengan memakai pakaian sesuatu dengan fitrahnya. Dalil yang mewajibkan hal tersebut adalah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah : “Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakian laki-laki” ( HR Abu Dawud: 4/355; Shahihul Jami’ : 5071).

MAKAN UANG RIBA

Dalam kitab suci Al Qur’an, Allah Subhanahu wata'ala tidak pernah memaklumkan perang kepada seseorang kecuali kepada pemakan riba, Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu” (Al Baqarah: 278-279). Cukuplah ayat diatas sebagai petunjuk betapa keji dosa riba di sisi Allah Subhanahu wata'ala. Orang yang mememperhatikan pengaruh riba dalam kehidupan individu hingga tingkat negara, niscaya akan mendapatkan kesimpulan, malakukan kegiatan riba akan mengakibatkan kerugian, kebangkrutan, kelesuan, kemandegan, dan kelemahan. Baik karena lilitan utang yang tak terbayar atau berupa kepincangan ekonomi, tingginya angka pengangguran, ambruknya perseroan dan usaha bisnis. Di samping itu kegiatan riba menjadikan hasil keringat dan jerih payah kerja tiap hari hanya dikonsentrasikan untuk membayar bunga riba yang tak pernah ada akhirnya. Ini berarti menciptakan kesenjangan sosial, membangun gunung rupiah untuk satu kelompok masyarakat yang jumlahnya minoritas di satu sisi dan di sisi lain menciptakan kemiskinan di tengah masyarakat yang jumlahnya mayoritas yang sudah merana dan papa. Barang kali inilah salah satu potret kalazhiman dari kegiatan riba, sehingga Allah Tabaroka wata’ala memaklumkan perang atasnya. Semua pihak yang berperan dalam kegiatan riba, perantara, atau pembantu kelancaran kegitan riba adalah orang-orang yang dilaknat melalui lisan Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam : Dari Jabir Radhiallahu'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis, dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya. ia berkata : “mereka itu sama (saja)” (HR Muslim : 3/219). Berdasarkan hadits di atas, maka setiap umat Islam tidak diperkenankan bekerja sebagai sekretaris, petugas pembukuan, penerima uang nasabah, nasabah, pengantar uang nasabah, satpam dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan riba. Sungguh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menerangkan betapa buruk kegiatan riba tersebut. Abdullah Bin Mas’ud Radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Riba itu (memiliki) tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan dari padanya adalah seperti (dosa) seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri). Dan sejahat-jahat riba adalah kehormatan seorang muslim” (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak, 2/27; shahihul jam’ :2533). Juga dalam sabda beliau Shallallahu'alaihi wasallam : “Sedirham (uang) riba yang dimakan oleh seorang laki-laki sedang dia mengetahui (uang itu hasil riba) lebih keras (siksaanya) daripada tiga puluh enam kali berzina” (HR Imam Ahmad: 5/225, lihat shahihul jami’ : 3375). Pengharaman riba berlaku umum, tidak dikhususkan sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang, hanya antara si kaya dengan si miskin. Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan dalam semua keadaan. Betapa banyak kita saksikan bangkrutnya pedagang-pedagang besar dan orang-orang kaya karena melibatkan diri dalam kegiatan ribawi. Atau paling tidak, berkah uang riba tersebut meski jumlahnya banyak dihilangkan oleh Allah Tabaroka wata’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “(Uang) riba itu meski (pada awalnya) banyak, tetapi pada akhirnya ia akan (menjadi) sedikit: (HR Al Hakim, 2/37, shahihul jami’ : 3542). Riba juga tidak dikhususkan pada jumlah peredaran uang, sehingga dikatakan kalau dalam jumlah banyak, riba itu haram dan kalau sedikit tidak. Sedikit atau banyak riba hukumnya haram. Orang yang memakan atau mengambil uang riba, kelak dia akan dibangkitkan dari dalam kuburnya pada hari kiamat seperti bangkitnya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Meskipun riba adalah suatu dosa yang sangat keji, tetapi Allah tetap menerima taubat orang yang hendak meninggalkan perbuatan tersebut. Langkah yang harus ditempuh oleh orang yang benar-benar taubat dari kegiatan riba adalah sebagaimana dituturkan firman Allah Subhanahu wata'ala : “Dan jika kamu bertaubat (dari kegiatan dan pemanfaatan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (Al Baqarah : 279). Dengan mengambil langkah tersebut, maka keadilan benar-benar terwujud. Setiap pribadi muslim harus menjauhkan diri dari dosa besar ini, memandangnya sebagai sesuatu yang buruk dan keji. Bahkan orang-orang yang meletakkan uangnya di bank-bank konvensional (ribawi) karena terpaksa disebabkan takut hilang atau dicuri, hendaknya ia benar-benar merasakannya sebagai sesuatu yang sangat terpaksa. Yakni keterpaksaan itu sebanding dengan keterpaksaan orang yang makan bangkai atau lebih dari itu, dengan tetap memohon ampun kepada Allah dan berusaha untuk mencari gantinya, bila memungkinkan. Orang-orang itu tidak boleh meminta bunga deposito dari bank-bank tersebut. Jika bunga itu di masukkan dalam rekeningnya, maka ia harus menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang dibolehkan (seperti untuk membangun WC umum atau yang semisalnya), sebagai bentuk penghindaran dari uang tersebut, tidak sebagai sedekah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Baik tidak mnerima sesuatu kecuali yang baik. Ia tidak boleh mamanfaatkan uang riba tersebut dalam bentuk apapun. Tidak untuk makan, minum, pakaian, kendaraan, atau tempat tinggal. Juga tidak boleh untuk diberikan sebagai nafkah kepada istri, anak, bapak, atau ibu. Juga tidak boleh untuk mengeluarkan zakat, membayar pajak, atau menjadikannya sarana untuk menolak kezaliman yang menimpanya. Tetapi hendaknya ia membebaskan diri daripadanya karena takut kepada siksaan Allah Subhanahu wata'ala.

MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN SAUDARA MUSLIM LEBIH DARI TIGA HARI

Di antara langkah syaitan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya. Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya, atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah salah satu sebab kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka” (HR Abu Dawud, 5/215, Shahihul Jami’ : 7635) Abu khirasy Al Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya) “ (HR Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406, dalam Shahihul Jami’: 6557) Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui bahwa Allah menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu , Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai” (HR Muslim : 4/1988) jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Allah, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa tetap ada padanya. Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR Bukhari, Fathul Bari : 10/492) Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya, menasehati dan mengingatkannya. Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dilakukan Nabi Shallallahu'alaihi wasallam kepada Ka’ab bin Malik dan dua orang kawannya, karena beliau melihat dalam hajr tersebut terdapat maslahat. Sebaliknya bila menghentikan hajr kepada Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya karena hajr kepada mereka tidak membawa faidah. [Keterangan : Syaikh Bin Baz]

JABAT TANGAN DENGAN WANITA BUKAN MAHRAM

Pada zaman sekarang jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan hampir sudah menjadi tradisi. Tradisi bejat itu mengalahkan akhlak islami yang semestinya ditegakkan. Bahkan mereka menganggap kebiasaan itu jauh lebih baik dan lebih tinggi nilainya dari pada syariat Allah Tabaroka wata’ala yang mengharamkannya. Sehingga jika salah seorang dari mereka anda ajak dialog tentang hukum syariat dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas tentu serta merta ia akan menuduh anda dengan sebagai orang kolot, ketinggalan zaman, kaku, sulit beradaptasi, ekstrim, hendak memutuskan tali silaturrahmi, menggoyahkan niat baik ….dan sebagainya. Sehingga dalam masyarakat kita, berjabat tangan dengan anak (perempuan) paman atau bibi dengan istri saudara atau istri paman baik dari pihak ayah maupun ibu lebih mudah dari pada minum air. Seandainya mereka melihat secara jernih dan penuh pengetahuan tentang bahaya persoalan tersebut menurut syara’ tentu mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sungguh ditusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR Ath Thabrani dalam shahihul jami’ hadits no : 4921). Kemudian tak diragukan lagi, hal ini termasuk zina tangan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluanpun berzina” (HR. Ahnad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126). Dan, adakah orang yang hatinya lebih bersih dari hati Nabi Shallallahu'alaihi wasallam? Namun begitu beliau mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak menyentuh tangan dengan wanita” (HR Ahmad, 6/357 dalam shahihul jami’ hadits no : 2509). Beliau Shallallahu'alaihi wasallam juga bersabda : “Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554) Dan dari Aisyah Radliallahu Anha, dia berkata : “Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim ,: 3/1489). Hendaknya takut kepada Allah, orang-orang yang mengancam cerai istrinya yang shalihah karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Perlu juga diketahui, berjabat tangan dengan lawan jenis, meski memakai alas (kaos tangan) hukumnya tetap haram.

MENDENGARKAN DAN MENIKMATI MUSIK

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu bersumpah dengan nama Allah bahwa yang dimaksud dengan firman Allah: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (Luqman : 6) adalah nyanyian [Tafsir Ibnu Katsir : 6/333] Abi Amir dan Abi Malik Al Asy’ari Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam: “Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 10/51) Dan dalam hadits Anas bin Malik Radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Kelak akan terjadi pada umat ini (tiga hal) : (mereka) ditenggelamkan (kedalam bumi), dihujani batu, dan diubah bentuk mereka, yaitu jika mereka minum arak, mengundang biduanita-biduanita (untuk menyanyi) dan menabuh (membunyikan) musik” [As Silsilah Ash Shahihah, 2203, diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam kitab Dzammul Malahi dan At Tirmidzi no : 2212]. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melarang gendang, lalu menyatakan, seruling adalah suara orang bodoh dan tukang maksiat. Para ulama terdahulu seperti Imam Ahmad Ibnu Hanbal Rahimahullah berdasarkan hadits–hadits shahih yang melarang alat-alat musik secara mutlak telah menetapkan haramnya alat-alat musik seperti kecapi, seruling, rebab, simbab, dan yang lainnya. Tidak diragukan lagi, alat-alat musik modern yang kita kenal saat ini masuk dalam kategori alat-alat musik yang dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. seperti piano, biola, harpa, gitar, dan sebagainya. Bahkan alat modern tersebut lebih cepat mempengaruhi mabuknya jiwa dari pada alat-alat musik zaman dulu yang telah diharamkan dalam beberapa hadits. Menurut penuturan para ulama, di antaranya Ibnu Qayyim, keterlenaan dan mabuknya jiwa akibat pengaruh nyanyian lebih besar bahayanya dari pada akibat minum arak. Kemudian tak diragukan lagi, pelanggarannya akan lebih keras dan dosanya akan lebih besar jika alat-alat musik tersebut diiringi dengan nyanyian, baik oleh biduan atau biduan wanita. Lalu, bahayanya akan lebih bertumpuk jika untaian kata-kata syairnya berkisah tentang cinta, asmara, kecantikan wanita atau kegagahan pria Karena itu tidak mengherankan jika para ulama menyebutkan, nyanyian adalah sarana yang menghantarkan pada perbuatan zina, menumbuhkan perasaan nifak di dalam hati. Dan secara umum, nyanyian dan musik adalah tema besar zaman ini yang melahirkan banyak fitnah. Musibah itu semakin menjadi-jadi, setelah pada saat ini kita saksikan musik menyelusup setiap barang dan ruang. Seperti jam dinding, bel, mainan anak-anak, komputer, pesawat telpon, dan sebagainya. Saat ini bahkan kita kenal istilah dakwah lewat musik. Adakah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan yang lebih nyata dari ini ? Untuk menghindari barbagai hal di atas sungguh memerlukan kekuatan hati yang tangguh. Mudah-mudahan Allah menjadi penolong kita semua. Amin …..

MEMALSUKAN NASAB ANAK KEPADA SELAIN AYAHNYA DAN PENGINGKARAN AYAH TERHADAP ANAK SENDIRI.

Menurut syariat Islam, seorang muslim tidak dibenarkan menasabkan diri kepada selain ayahnya, atau menggolongkan diri kepada selain kaumnya. Sebagian orang ada yang melakukan hal tersebut untuk tujuan materi, sehingga menulis nasab palsu dalam surat-surat dan dokomen penting untuk memudahkan baginya urusannya. Sebagian lain ada yang melakukannya karena dendam kepada sang ayah yang meninggalkan dirinya sejak kecil. Semua perbuatan di atas hukumnya haram. Perbuatan tersebut melahirkan kerusakan besar di banyak bidang persoalan, misalnya dalam urusan mahram, nikah, warisan dan sebagainya. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Sa’ad bin Abi Bakrah Radhiallahu'anhu disebutkan : “Barang siapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya sedang ia mengetahui maka haram baginya surga” (HR Al Bukhari, lihat fathul bari : 8/45). Jadi menurut ketentuan syariat, haram hukumnya mempermainkan nasab atau memalsukannya. Sebagian laki-laki apabila terjadi pertengkaran dengan istrinya menuduhnya berselingkuh dengan laki-laki lain, sehingga ia tidak mengakui anaknya sendiri tanpa bukti apapun, padahal anak itu jelas-jelas lahir dari hubungan antara dia dan istrinya. Sebagian istri juga ada yang berkhianat. Misalnya ia hamil dari hasil zina dengan lelaki lain, tetapi kemudian ia menasabkan anak tersebut kepada suaminya yang sah. Orang-orang sebagaimana disebutkan di atas, mendapat ancaman yang keras dari Allah Subhanahu wata'ala. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, saat turun ayat mula’anah (saling melaknat antara suami dengan istri karena tuduhan zina) “Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah Tabaroka wata’ala berlepas diri dari padanya dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa dari laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anak yang sah) maka Allah Tabaroka wata’ala akan menutup diri padanya dan akan mempermalukannya di hadapan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian” (HR Abu Dawud, 2/695, lihat Misykatul Mashabih, 3316).

ZINA

ZINA Di antara tujuan syariat adalah menjaga kehormatan dan keturunan, karena itu syariat Islam mengharamkan zina, Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al Isra’ : 32) Bahkan syariat menutup segala pintu dan sarana yang mengundang perbuatan zina. Yakni dengan mewajibkan hijab, menundukkan pandangan, juga dengan melarang khalwat (berduaan di tempat yang sepi) dengan lawan jenis bukan mahram dan sebagainya. Pezina muhshan (yang telah beristri) dihukum dengan hukuman yang paling berat dan menghinakan. Yaitu dengan merajam (melemparnya dengan batu hingga mati). hukuman ini ditimpakan agar merasakan akibat dari perbuatannya yang keji, juga agar setiap anggota tubuhnya kesakitan, sebagaiman dengannya ia menikmati yang haram. Adapun pezina yang belum pernah melakukan senggama melalui nikah yang sah, maka ia dicambuk sebanyak seratus kali. Suatu bilangan yang paling banyak dalam hukuman cambuk yang dikenal dalam Islam. Hukuman ini harus disaksikan sekelompok kaum mukminin. Suatu bukti betapa hukuman ini amat dihinakan dan dipermalukan. Tidak hanya itu, pezina tersebut selanjutnya harus dibuang dan diasingkan dari tempat ia melakukan perzinaan, selama satu tahun penuh. Adapun siksaan para pezina -baik laki-laki maupun perempuan- di alam barzakh adalah ditempatkan di dapur api yang atasnya sempit dan bawahnya luas. Dari bawah tempat tersebut, api dinyalakan. Sedang mereka berada didalamnya dalam keadaan talanjang. Jika dinyalakan mereka teriak, malolong-lolong dan memanjat keatas hingga hampir-hampir saja mereka bisa keluar, tapi bila api dipadamkan, mereka kembali lagi ke tempatnya semula (di bawah) lalu api kembali lagi dinyalakan. Demikian terus berlangsung hingga datangnya hari kiamat. Keadaannya akan lebih buruk lagi jika laki-laki tersebut sudah tua tapi terus saja berbuat zina, padahal kematian hampir menjemputnya, tetapi Allah Tabaroka wata’ala masih memberinya tenggang waktu. Dalam hadits marfu’ dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan : “Tiga (jenis manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, juga Allah tidak akan menyucikan mereka dan tidak pula memandang kepada mereka, sedang bagi mereka siksa yang pedih, yaitu laki-laki tua yang suka berzina, seorang raja pendusta, dan orang miskin yang sombong”. (HR Muslim : 1/102-103). Di antara cara mencari rizki yang terburuk adalah mahrul baghyi. yaitu upah yang diberikan kepada wanita pezina oleh laki-laki yang menzinainya. Pezina yang mencari rizki dengan dengan menjajakan kemaluannya tidak diterima doanya. Walaupun do’a itu dipanjatkan ditengah malam, saat pintu-pintu langit dibuka. (Hadits masalah ini terdapat dalam shahihul jami’ : 2971) Kebutuhan dan kemiskinan bukanlah suatu alasan yang dibenarkan syara’ sehingga seseorang boleh melanggar ketentuan dan hukum-hukum Allah. Orang Arab dulu berkata: seorang wanita merdeka kelaparan tetapi tidak makan dengan menjajakan kedua buah dadanya, bagaimana mungkin dengan menjajakan kemaluannya. Di zaman kita sekarang, segala pintu kemaksiatan di buka lebar-lebar. Setan mempermudah jalan (menuju kemaksiatan) dengan tipu dayanya dan tipu daya pengikutnya. Para tukang maksiat dan ahli kemungkaran membeo setan. Maka bertebarlah para wanita yang pamer aurat dan keluar rumah tanpa mengenakan pakaian yang diperintahkan agama. Tatapan yang berlebihan dan pandangan yang diharamkan menjadi fenomena umum. Pergaulan bebas antara laki-laki dengan perempuan merajalela. Rumah-rumah mesum semua laku. Demikian pula dengan film-film yang membangkitkan nafsu hewani. Banyak orang-orang melancong ke negeri-negeri yang menjanjikan kebebasan maksiat. Disana-sini berdiri bursa sex. Pemerkosaan terjadi di mana-mana. Jumlah anak haram meningkat tajam. Demikian halnya dengan aborsi (pengguguran kandungan) akibat kumpul kebo dan sebagainya. Ya Allah, kami mohon padaMu, bersihkanlah segenap hati kami dan pelihara serta bentengilah kemaluan dan kehormatan kami. Jadikanlah antara kami dengan hal-hal yang diharamkan dinding pembatas. Hanya kepadamulah kami mengadu…..Laa khawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim.

TAHLILAN BERASAL DARI AGAMA HINDU

Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah. Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu. Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu. Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”. Telah jelas bagi kita pada awalnya ajaran ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur ajaran seperti ini diperbolehkan?? Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya. Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya? Allah berfirman : وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ ”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170) Allah berfirman : وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (QS Al Baqarah 42) Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah??? Selanjutnya Allah berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Albaqoroh : 208). Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah… TIDA K SETENGAH HINDU…SETENGAH ISLAM… TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN menurut Syekh Nawawi, Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu . “ Shadaqah untuk mayit , apabila sesuai dengan tuntunan syara ’ adalah dianjurkan , namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara menurut Syaikh Yusuf , telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya , atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh , atau ke empatpuluh , atau ke seratus dan sesudah nya hingga di biasakan tiap tahun dari kematian nya , padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) . Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) TAHLILAN DALAM DIALOG SUNANAN AMPEL DENGAN SUNAN KALIJOGO Berikut adalah dokumen yang bisa di pertanggung jawabkan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo ; HET BOOK VAN BONANG [1] buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo . Kalau tidak dibawa Belanda , mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap . Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H ” . Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu ”. Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H . Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini . Dimana Sunan Kalijogo , Sunan Bonang , Sunan Kudus , Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel , Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) . Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan , bersaji , wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman . Sunan Ampel berpandangan lain : “ Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi BID’AH ? Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) . Sunan Ampel , Sunan Bonang , Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni , baik tentang aqidah maupun ibadah . Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme / mencampurkan , memadukan ajaran Hindu dan Budha dngn Islam . Tetapi sebaliknya Sunan Kudus , Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam . Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita , seperti sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu . NASEHAT SUNAN BONANG ; Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH . Bunyinya sebagai berikut : “ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami- saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu . Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H . [1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda . Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti . Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun 1935 . TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN MENURUT HASIL MUKTAMAR KE-1 Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina , Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam .. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama , namun tidak melakukan tahlilan , akan dianggap tercela sekali . Di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an , menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al- Aqrimany disebutkan : “al- Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata : ” Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang- orang jahiliyah “. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah , dan meninggalkannya berarti bid’ah , maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan ” . (al- Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal . 286) . Dan para ulama berkata : “ Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir , oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu ”. (al- Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) masih di di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an itu , bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal : 1 . Membebani keluarga mayit walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan , namun apabila sudah menjadi kebiasaan , maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan . 2 . Merepotkan keluarga mayit sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai , ditambah pula bebannya . 3 . Bertolak belakang dengan hadits Menurut hadits ,justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita , bukan sebaliknya .” Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian , hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan pengat kesabaran , sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut , dalam hadits : “ Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far , karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan ”. (HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195) , al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61) , al- Daruquthny (Sunan al- Daruquthny, 2/78) , al- Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323) , al- Hakim (al- Mustadrak, 1/527) , dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah , 1/514) . (al-Mawa’idz angrodjong Nahdlatoel‘Oelama Tasikmalaya , hal 200) PANDANAGAN PARA SAHABAT TERHADAP KUMPUL-KUMPUL ORANG KEMATIAN Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata : ”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih. Dan anniyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”. FATWA-FATWA ULAMA’ 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN I. MADZHAB HANAFI 1 – HASYIYAH IBNU ABIDIEN Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al- Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240) 2 – AL-THAHTHAWY Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al- Halaby, 1318), juz I hal 409). 3 – IBN ABDUL WAHID SIEWASY Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142) II.MADZHAB MALIKI 1 – AL-DASUQY Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al- Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut:Dar al-Fikr) juz I, hal 419) 2 – ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228) III . MADZHAB SYAFI’I 1 – AL-SYARBINY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al- Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al- Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210) 2 – AL-QALYUBY Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353) 3 – AN-NAWAWY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an- Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) 4- IBNU HAJAR ALHAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.(Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al- Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577) 5 – AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146) 6 – AL-AQRIMANY Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) 7 – RAUDLAH AL-THALIBIEN penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al- Thalibien (Beirut: al- Maktab al- Islamy, 1405) juz II, hal 145) IV . MADZHAB HAMBALI 1 – IBN QUDAMA AL-MUQADDASY Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al- Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214) 2 – ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al- Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231) 3 – ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al- Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al- Miqna’ (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1400) juz II, hal 283) 4 – MANSHUR BIN IDRIS AL- BAHUTY Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al- Marbi’ (Riyadl: Maktabah al- Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355) 5 – KASYF AL-QANA’ Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149) 6 – IBN TAIMIYAH Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316) SELAMATAN KEMATIAN DALAM KITAB FATAWA Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “ Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita . Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja , dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN , DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH , serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah . Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan . Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat , maka bagaimana hukumnya , boleh atau tidak ? Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh) , kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melakukan prosesi tersebut , ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh , dst- penj ) , agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya , gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas . kepercayaan Animisme mengenai orang mati menurut Prof Hamka Menurut kepercayaan datuk nenek-moyang kita zaman purbakala, apabila seorang mati, datanglah roh orang yang mati itu ke dunia kembali, lalu dia mengganggu ke sana ke mari , sehingga ada orang yang sakit . Oleh sebab itu di anjurkan supaya kalau orang telah mati , hendaklah keluarga berkumpul- kumpul beramai-ramai di rumah orang yang kematian itu sejak hari pertama, hari ketiga, hari keempat sampai hari ketujuh . Kemudian dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke empat puluh. Setelah itu dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke seratus, dan paling akhir sekali dia akan datang kembali pada hari yang ke seribu. Sebab itu hendaklah orang beramai-ramai di rumah itu di hari-hari tersebut. Sebab roh itu takut datang kalau ada ramai-ramai ! Maka setelah nenek-moyang kita memeluk Agama Islam belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian di hari-hari yang tersebut itu, sebagai warisan zaman purbakala. Cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca al-Qur’an, terutama Surat Yasin . H Rusydi, Afif (editor), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 394. IMAM SYAFE’I MEMBENCI ALM’ATAM Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata ; . . dan aku membenci al- ma’tam , yaitu berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan , karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambah nya kesedihan dan membutuhkan biaya , padahal beban kesedihan masih melekat . (al-Umm juz I,hal 279) Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam : “ Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi , tidak pula dari sahabat-sahabatnya , dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya , demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad- musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits- hadits dari zaman nabi dan sahabat . BUNG KARNO DAN TALILAN Kepada A. Hassan, Soekarno juga bercerita mengenai ibu mertuanya yang telah meninggal dan kritik yang dialamatkan kepadanya karena ia dan keluarga tidak mengadakan acara tahlilan untuk almarhumah ibu mertuanya. Dalam surat tertanggal 14 Desember 1935, Soekarno menulis: “Kaum kolot di Endeh, di bawah ajaran beberapa orang Hadaramaut, belum tenteram juga membicarakan halnyatidak bikin ‘selamatan tahlil’ buat saya punya ibu mertua yang baru wafat itu, mereka berkata bahwa saya tidak ada kasihan dan cinta pada ibu mertua itu. Biarlah! Mereka tak tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampunan bagi ibu mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan Rahmat-Nya dan Berkat-Nya…” Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama dengan meratap Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama dengan meratap , Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah . Dari Thalhah : “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata : Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat ? Jarir menjawab : Tidak, Umar berkata : Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ? Jarir menjawab : Ya , Umar berkata : Hal itu sama dengan meratap ”. (al- Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad : Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) . Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary , kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq : “ Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit , dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit ”. (al- Mashnaf Abd al-Razaq al- Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550 . Dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais , beliau berkata : saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan , kemudian berkata : kalian akan mendapat bencana dan akan merugi ”. Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepada kami , Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary , beliau berkata : Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah ”. 1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318). “Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1] Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?” 2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : “Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !” 3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : “Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)…….. Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.” Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita). Kita memohon kepada Allah keselamatan !” 4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145). 5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “. Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306] 6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih. 7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah. 9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”. 10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139] 11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93] 12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i (I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.” KESIMPULAN. Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat. Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah. Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat. “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)] Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas). Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317] Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas. [Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M] _______ Footnote [1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. [2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak! wallahu a'lam semoga bermamfaat bagi kita semua amin.

TAHLILAN BERASAL DARI AGAMA HINDU

Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah. Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu. Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu. Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”. Telah jelas bagi kita pada awalnya ajaran ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur ajaran seperti ini diperbolehkan?? Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya. Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya? Allah berfirman : وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ ”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170) Allah berfirman : وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (QS Al Baqarah 42) Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah??? Selanjutnya Allah berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Albaqoroh : 208). Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah… TIDA K SETENGAH HINDU…SETENGAH ISLAM… TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN menurut Syekh Nawawi, Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu . “ Shadaqah untuk mayit , apabila sesuai dengan tuntunan syara ’ adalah dianjurkan , namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara menurut Syaikh Yusuf , telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya , atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh , atau ke empatpuluh , atau ke seratus dan sesudah nya hingga di biasakan tiap tahun dari kematian nya , padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) . Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) TAHLILAN DALAM DIALOG SUNANAN AMPEL DENGAN SUNAN KALIJOGO Berikut adalah dokumen yang bisa di pertanggung jawabkan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo ; HET BOOK VAN BONANG [1] buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo . Kalau tidak dibawa Belanda , mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap . Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H ” . Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu ”. Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H . Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini . Dimana Sunan Kalijogo , Sunan Bonang , Sunan Kudus , Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel , Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) . Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan , bersaji , wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman . Sunan Ampel berpandangan lain : “ Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi BID’AH ? Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) . Sunan Ampel , Sunan Bonang , Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni , baik tentang aqidah maupun ibadah . Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme / mencampurkan , memadukan ajaran Hindu dan Budha dngn Islam . Tetapi sebaliknya Sunan Kudus , Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam . Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita , seperti sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu . NASEHAT SUNAN BONANG ; Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH . Bunyinya sebagai berikut : “ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami- saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu . Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H . [1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda . Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti . Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun 1935 . TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN MENURUT HASIL MUKTAMAR KE-1 Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina , Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam .. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama , namun tidak melakukan tahlilan , akan dianggap tercela sekali . Di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an , menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al- Aqrimany disebutkan : “al- Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata : ” Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang- orang jahiliyah “. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah , dan meninggalkannya berarti bid’ah , maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan ” . (al- Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal . 286) . Dan para ulama berkata : “ Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir , oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu ”. (al- Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) masih di di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an itu , bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal : 1 . Membebani keluarga mayit walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan , namun apabila sudah menjadi kebiasaan , maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan . 2 . Merepotkan keluarga mayit sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai , ditambah pula bebannya . 3 . Bertolak belakang dengan hadits Menurut hadits ,justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita , bukan sebaliknya .” Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian , hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan pengat kesabaran , sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut , dalam hadits : “ Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far , karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan ”. (HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195) , al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61) , al- Daruquthny (Sunan al- Daruquthny, 2/78) , al- Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323) , al- Hakim (al- Mustadrak, 1/527) , dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah , 1/514) . (al-Mawa’idz angrodjong Nahdlatoel‘Oelama Tasikmalaya , hal 200) PANDANAGAN PARA SAHABAT TERHADAP KUMPUL-KUMPUL ORANG KEMATIAN Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata : ”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih. Dan anniyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”. FATWA-FATWA ULAMA’ 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN I. MADZHAB HANAFI 1 – HASYIYAH IBNU ABIDIEN Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al- Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240) 2 – AL-THAHTHAWY Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al- Halaby, 1318), juz I hal 409). 3 – IBN ABDUL WAHID SIEWASY Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142) II.MADZHAB MALIKI 1 – AL-DASUQY Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al- Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut:Dar al-Fikr) juz I, hal 419) 2 – ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228) III . MADZHAB SYAFI’I 1 – AL-SYARBINY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al- Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al- Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210) 2 – AL-QALYUBY Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353) 3 – AN-NAWAWY Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an- Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) 4- IBNU HAJAR ALHAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.(Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al- Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577) 5 – AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146) 6 – AL-AQRIMANY Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) 7 – RAUDLAH AL-THALIBIEN penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al- Thalibien (Beirut: al- Maktab al- Islamy, 1405) juz II, hal 145) IV . MADZHAB HAMBALI 1 – IBN QUDAMA AL-MUQADDASY Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al- Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214) 2 – ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al- Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231) 3 – ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al- Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al- Miqna’ (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1400) juz II, hal 283) 4 – MANSHUR BIN IDRIS AL- BAHUTY Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al- Marbi’ (Riyadl: Maktabah al- Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355) 5 – KASYF AL-QANA’ Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149) 6 – IBN TAIMIYAH Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316) SELAMATAN KEMATIAN DALAM KITAB FATAWA Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “ Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita . Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja , dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN , DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH , serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah . Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan . Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat , maka bagaimana hukumnya , boleh atau tidak ? Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh) , kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melakukan prosesi tersebut , ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh , dst- penj ) , agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya , gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas . kepercayaan Animisme mengenai orang mati menurut Prof Hamka Menurut kepercayaan datuk nenek-moyang kita zaman purbakala, apabila seorang mati, datanglah roh orang yang mati itu ke dunia kembali, lalu dia mengganggu ke sana ke mari , sehingga ada orang yang sakit . Oleh sebab itu di anjurkan supaya kalau orang telah mati , hendaklah keluarga berkumpul- kumpul beramai-ramai di rumah orang yang kematian itu sejak hari pertama, hari ketiga, hari keempat sampai hari ketujuh . Kemudian dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke empat puluh. Setelah itu dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke seratus, dan paling akhir sekali dia akan datang kembali pada hari yang ke seribu. Sebab itu hendaklah orang beramai-ramai di rumah itu di hari-hari tersebut. Sebab roh itu takut datang kalau ada ramai-ramai ! Maka setelah nenek-moyang kita memeluk Agama Islam belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian di hari-hari yang tersebut itu, sebagai warisan zaman purbakala. Cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca al-Qur’an, terutama Surat Yasin . H Rusydi, Afif (editor), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 394. IMAM SYAFE’I MEMBENCI ALM’ATAM Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata ; . . dan aku membenci al- ma’tam , yaitu berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan , karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambah nya kesedihan dan membutuhkan biaya , padahal beban kesedihan masih melekat . (al-Umm juz I,hal 279) Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam : “ Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi , tidak pula dari sahabat-sahabatnya , dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya , demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad- musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits- hadits dari zaman nabi dan sahabat . BUNG KARNO DAN TALILAN Kepada A. Hassan, Soekarno juga bercerita mengenai ibu mertuanya yang telah meninggal dan kritik yang dialamatkan kepadanya karena ia dan keluarga tidak mengadakan acara tahlilan untuk almarhumah ibu mertuanya. Dalam surat tertanggal 14 Desember 1935, Soekarno menulis: “Kaum kolot di Endeh, di bawah ajaran beberapa orang Hadaramaut, belum tenteram juga membicarakan halnyatidak bikin ‘selamatan tahlil’ buat saya punya ibu mertua yang baru wafat itu, mereka berkata bahwa saya tidak ada kasihan dan cinta pada ibu mertua itu. Biarlah! Mereka tak tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampunan bagi ibu mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan Rahmat-Nya dan Berkat-Nya…” Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama dengan meratap Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama dengan meratap , Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah . Dari Thalhah : “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata : Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat ? Jarir menjawab : Tidak, Umar berkata : Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ? Jarir menjawab : Ya , Umar berkata : Hal itu sama dengan meratap ”. (al- Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad : Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) . Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary , kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq : “ Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit , dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit ”. (al- Mashnaf Abd al-Razaq al- Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550 . Dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais , beliau berkata : saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan , kemudian berkata : kalian akan mendapat bencana dan akan merugi ”. Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepada kami , Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary , beliau berkata : Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah ”. 1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318). “Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1] Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?” 2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : “Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !” 3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : “Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)…….. Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.” Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita). Kita memohon kepada Allah keselamatan !” 4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145). 5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “. Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306] 6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih. 7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah. 9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”. 10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139] 11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93] 12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i (I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.” KESIMPULAN. Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat. Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah. Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat. “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)] Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas). Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317] Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas. [Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M] _______ Footnote [1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. [2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak! wallahu a'lam semoga bermamfaat bagi kita semua amin.

KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan rasul yang paling mulia, Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta segenap orang yang menelusuri jejak ajaran mereka hingga hari pembalasan, wa ba’du. Sesungguhnya wanita muslimah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam dan pengaruh yang begitu besar di dalam kehidupan setiap Muslim. Dialah sekolah pertama di dalam membangun masyarakat yang shalih jika ia berjalan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena berpegang teguh kepada kedua sumber itu dapat menjauhkan setiap Muslim laki-laki dan wanita dari kesesatan di dalam segala sesuatu. Kesesatan bangsa-bangsa dan penyimpangannya tidak akan terjadi kecuali karena mereka menjauh dari ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ajaran yang diajarkan oleh para nabi dan rasulNya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Aku tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah NabiNya” [Diriwayatkan Imam Malik didalam Kitab Al-Muwaththa’] Didalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan betapa pentingnya kaum wanita sebagai ibu, sebagai istri, sebagai saudara dan sebagai anak. Mereka juga mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfungsi menjelaskan secara detail. Urgensi atau pentingnya (peran wanita) itu tampak di dalam beban tanggung jawab yang harus diembannya dan perjuangan berat yang harus ia pikul yang pada sebagiannya melebihi beban tanggung jawab yang dipikul kaum pria. Maka dari itu, di antara kewajiban terpenting kita adalah berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya dan mempergaulinya dengan baik. Dalam hal ini ia harus lebih diutamakan dari pada ayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada Ku-lah kamu kembali” [Luqman : 14] “Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” [Al-Ahqaf : 15] Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik ?” Jawab Nabi, “Ibumu” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawab beliau, “Ibumu”, Ia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi ?” Beliau jawab “Ayahmu” [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari] Makna yang terkandung di dalam hadits ini adalah bahwa ibu harus mendapat 3x (tiga kali) lipat perbuatan baik (dari anaknya) dibandingkan bapak. Kedudukan istri dan pengaruhnya terhadap jiwa laki-laki telah dijelaskan oleh ayat berikut ini. “Artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” [Ar-Rum : 21] Ibnu Katsir di dalam tafsirnya tentang mawadah wa rahmah mengatakan : Mawaddah adalah rasa cinta dan Rahmah adalah rasa kasih sayang, karena sesungguhnya seorang laki-laki hidup bersama istrinya adalah karena cinta kepadanya atau karena kasih dan sayang kepadanya, agar mendapat anak keturunan darinya. Sesungguhnya ada pelajaran yang sangat berharga dari Khadijah Radhiyallahu anha dimana beliau mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentramkan rasa takut yang dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu di goa Hira’ untuk pertama kalinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Khadijah dalam keadaan seluruh persendiannya gemetar, seraya bersabda. “Artinya : Selimuti aku! Selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku” Maka Khadijah berkata : “Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan membuatmu menjadi hina sama sekali, karena engkau selalu menjalin hubungan silaturahmi, menanggung beban, memberikan bantuan kepada orang yang tak punya, memuliakan tamu dan memberikan pertolongan kepada orang yang berada di pihak yang benar” [Muttafaq Alaih] Kita juga tidak lupa peran Aisyah Radhiyallahu ‘anha dimana para tokoh sahabat Nabi banyak mengambil hadits-hadits dari beliau, dan begitu pula kaum wanita banyak belajar kepadanya tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka. Dan belum lama, yaitu pada zaman Imam Muhammad bin Sa’ud rahimahullah, beliau dinasehati oleh istrinya agar mau menerima dakwah tokoh pembaharu, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, ketika Syaikh Muhammad menawarkan dakwah kepadanya. Nasehat sang istri mempunyai pengaruh yang begitu besar sehingga terjadi kesepakatan di antara mereka berdua untuk memperbaharui dakwah dan menyebar luaskannya, (yang hingga kini) kita merasakan pengaruhnya dalam penegakkan Aqidah kepada penduduk Jazirah Arab. Tidak diragukan lagi bahwa ibu saya pun rahimahullah, mempunayi peran yang sangat besar dan pengruh yang sangat dalam di dalam memberikan dorongan kepada saya untuk giat belajar (menuntut ilmu). Semoga Allah melipat gandakan pahalanya dan memberinya balasan yang terbaik atas jasanya kepada saya. Dan hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa rumah tangga yang dihiasi dengan penuh rasa kasih sayang, rasa cinta, keramahan dan pendidikan yang Islami akan berpengaruh terhadap suami. Ia akan selalu beruntung, dengan izin Allah, di dalam segala urusannya, berhasil di dalam segala usaha yang dilakukannya, baik di dalam menuntut ilmu, perniagaan ataupun pertanian dan lain-lainnya. Hanya kepada Allah jualah saya memohon agar membimbing kita semua ke jalan yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Majmu Fatawa, jilid 3, halaman 348] [Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 421-424, Darul Haq]